Kamis, 25 Agustus 2011

** Agama Orang Baduy

Agama Orang Baduy

Oleh: K. Muhamad Hakiki

Ketika saya pertama kali menginjakan kaki di wilayah Baduy. Kesan pertama yang saya rasakan adalah bahwa Baduy adalah sebuah masyarakat yang memperaktekkan inti semua ajaran agama (Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, atau agama apa pun) yaitu mencintai sesama makhluk (manusia dan alam) dan Sang Pencipta. Tetapi kenapa masyarakat luar Baduy memberikan identitas pada mereka sebagai masyarakat penganut agama sunda wiwitan?. Lalu dari mana penamaan agama itu muncul ?. ini-lah yang akan menjadi fokus kajian pada bagian ini.

Jika dilihat dari sejarahnya, penamaan agama Baduy menjadi sunda wiwitan bermula pada ritual pemujaan mereka yang disimbolkan dengan Arca Domas sebagai leluhur mereka. Menurut mereka, pemegang kekuasaan tertinggi berada pada tangan Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki), atau juga disebut dengan Sang Hiyang Keresa (Yang Maha Kuasa), atau Batara Tunggal (Yang Maha Esa). Adanya kekuasaan tertinggi itu sampai saat ini masyarakat suku Baduy mempercayai bahwa arwah nenek moyang jika dirawat akan memberikan kekuatan baik lahir maupun batin kepada keturunannya. Karena alasan itu-lah, orang Baduy sampai saat ini begitu menganggap sakral pemujaan kepada nenek moyangnya atau mereka menyebutnya para karuhun.

Bagi masyarakat Baduy, mereka meyakini bahwa Orang Baduy berasal dari khirarki tua, sedangkan dunia yang berada di luar Baduy berasal dari turunannya. Karena alasan itu-lah maka orang Baduy meyakini bahwa Nabi Adam sebagai manusia yang pertama di bumi berasal dari Baduy. Kepercayaan khirarki tua atau pertama ini membuat mereka merasa bertanggungjawab atas keutuhan alam dan kelangsungan hidup manusia di muka bumi ini. Karena itu, Orang Baduy harus selalu melakukan tapa agar keberadaan bumi ini selalu terjaga.

Inti kepercayaan tersebut dapat ditunjukkan dengan adanya kepercayaan akan pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang disampaikan para leluhurnya untuk selalu dianut dan dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Baduy. Warisan pikukuh nenek moyang ini-lah yang dijadikan ”sabda suci” dan panutan hidup orang Baduy sampai kini. Isi terpenting dari konsep pikukuh (kepatuhan) masyarakat Baduy adalah konsep ketentuan "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin. Hal ini bisa dilihat dari ajaran pikukuh:

“buyut nu dititipkeun ka puun
nagara satelung puluh telu
bangsawan sawidak lima
pancer salawe nagara
gunung teu meunang dilebur
lebak teu meunang dirusak
larangan teu meunang dirempak
buyut teu meunang dirobah
lojor teu meunang dipotong
pendek teu meunang disambung
nu lain kudu dilainkeun
nu ulah kudu diulahkeun
nu enya kudu dienyakeun

Artinya:
“buyut yang dititipkan kepada puun
negara tigapuluhtiga
sungai enampuluhlima
pusat duapuluhlima Negara
gunung tidak bolehdihancurkan
lembah tidak boleh dirusak
larangan tidak boleh dilanggar
buyut tidak boleh diubah
panjang tidak boleh dipotong
pendek tidak boleh disambung
yang bukan harus ditiadakan
yang lain harus dilainkan
yang benar harus dibenarkan”

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Baduy adalah Sasaka Domas atau disebut Arca Domas, atau juga disebut Sasaka Pusaka Buana  yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Baduy mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali tepatnya pada bulan Kalima. Dalam proses pemujaan ini, biasanya yang terlibat hanyalah Puun yang merupakan ketua adat tertinggi diiringi dengan beberapa anggota masyarakat terpilih saja.

Di lngkungan kompleks Arca Domas tersebut terdapat sisa peninggalan zaman megalitik berupa bangunan berundak-undak dengan sejumlah menhir dan arca di atasnya, di tempat itu juga terdapat batu lumpang yang dianggap sakral menyimpan air hujan. Dari batu lumping ini masyarakat Baduy kerapkali mengambil isyarat alam. Menurut mereka, apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Baduy, itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan hasil panen padipun akan baik. Akan tetapi sebaliknya, apabila batu lumpang itu kering atau berair keruh, maka itu merupakan isyarat atau pertanda kegagalan panen.

Keberadaan tempat ibadah itu bagi orang Baduy adalah bernilai keramat, karena di dalamnya tempat berkumpul atau bersemayam para karuhun atau nenek moyang mereka. Jika ditinjau lebih jauh, kepercayaan masyarakat Baduy tersebut ternyata berkaitan dengan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.** 

** Jika saudara hendak mengutip sebagian atau seluruh isi tulisan dari blog ini, mohon untuk mencantumkan asal rujukannya (baduybantenheritage.blogspot.com). Terimakasih.

** Busana Khas Orang Baduy


Busana Khas Orang Baduy

Oleh: K. Muhamad Hakiki

Keunikan lain yang dimiliki Orang Buday ketika saya berkunjung terlihat dari cara mereka berbusana. Bentuk busana yang mereka gunakan sangat alami—jauh dari sisi khas berpakaian masyarakat dunia modern yang di desain dengan alat tehnologi yang canggih  seperti apa yang biasa kita pakai sekarang.

Dilihat dari sisi pola berbusana yang mereka kenakan—antara Orang Baduy Tangtu dan Panamping—menurut mereka pada prinsipnya sama. Dalam pandangan Orang Baduy, hal ini diyakini karena mereka berasal dari satu keturunan yang sama, yang memiliki keyakinan, tingkah laku, cita-cita, antara laki-laki dan perempuan adalah sama. Kalaupun ada sedikit perbedaan dalam berbusana, menurut mereka perbedaan itu hanya terletak pada bahan dasar, model dan warnanya saja. Meskipun begitu, jika dilihat dari kepatuhan mereka dalam mengenakan busana yang berbeda tersebut pastilah mempunyai prinsip yang tak bisa dicampuradukkan.

Busana yang dikenakan oleh Orang Baduy Tangtu berwarna putih atau biru. Dengan pola berpakaian seperti itu, orang Baduy Tangtu yakin bahwa pakaian yang mereka kenakan dan serba putih polos itu sebagai simbol makna suci bersih atau kesucian. Sedangkan untuk Orang Baduy Panamping berwarna hitam. Untuk Baduy Tangtu, pakaian yang biasa digunakan oleh para pria Baduy dicirikan dengan tiga bagian;

Pertama, dengan memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang. Istilah itu muncul karena biasanya mereka memakai baju dengan cara disangsangkan atau dilekatkan di bagian bahu badan. Desain baju sangsang ini hanya dilubangi atau dalam istilah sunda dicoak pada bagian leher sampai bagian depan dada. Potongan bajunya tidak memakai kerah, tidak memakai kancing bahkan tidak dilengkapi dengan kantong baju seperti yang biasa kita pakai.

Kedua, Adapun untuk pakaian bawahnya, mereka menggunakan kain serupa sarung atau rok yang berwarna biru kehitaman. Cara memakainya hanya dililitkan pada bagian pinggang yang disebut dengan aros. Untuk mengencangkannya dan agar tidak melorot, maka sarung tadi diikat dengan selembar kain. Hal ini dilakukan karena lelaki Baduy Tangtu tidak mengenakan celana dalam.

Ketiga, Yang menarik dari busana masyarakat Baduy adalah kekhasannya dalam memakai ikat kepala berwarna putih untuk orang Baduy Tangtu. Ikat kepala ini berbentuk segitiga dan berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang, kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk.

Semua pakaian yang dikenakan oleh orang Baduy dikerjakan secara mandiri oleh mereka tanpa bantuan tehnologi. Adapun proses pembuatan baju-nya adalah diharuskan hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin, hal ini dilakukan menurut mereka demi untuk menjaga kealamian tradisi. Dilihat dari bahan dasarnya, busana yang dipakai orang Baduy terbuat dari benang kapas asli yang ditenun dari serat daun pelah.

Di samping busana wajib yang dikenakan di atas, Orang Baduy biasanya selalu membawa tas yang terbuat dari kulit pohon. Tas itu mereka sebut dengan tas koja yang berfungsi sebagai alat untuk membawa bekal. Asesoris busana lainnya yang kerapkali dibawa oleh orang Baduy adalah senjata tajam sejenis golok yang diselipkan di pinggang. Keberadaan golok ini bagi mereka di samping sebagai alat jaga diri, yang lebih penting dari itu menurut mereka adalah dalam rangka mempermudah mereka beraktivitas, mengingat mereka lebih banyak hidup di areal hutan yang membutuhkan keberadaan alat itu.

Berbeda dengan busana Baduy Tangtu, busana yang dikenakan oleh Orang Baduy Panamping, adalah sejenis baju kampret berwarna hitam. Bahkan ikat kepala yang merupakan identitas kekhasan masyarakat Baduy pun berwarna biru tua dengan corak batik. Sedangkan desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah—seperti baju yang biasa dipakai layaknya masyarakat umum di laur Baduy. Desain baju-nya pun sudah bervareasi, mereka sudah mengunakan kantong, kancing dan bahan dasar pakaiannya pun tidak diharuskan dari benang kapas murni seperti apa yang digunakan oleh Orang Baduy Tangtu.

Jika dilihat dari cara berbusana Orang Baduy Panamping di atas, maka terlihat ada sedikit kelonggaran adat bila dibandingkan dengan Orang Baduy Tangtu seperti apa yang dijelaskan di atas. Adanya perbedaan dan kelonggaran ini, baik dalam bentuk warna, model atau pun corak busananya, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah mulai terpengaruh oleh kehidupan masyarakat luar Budaya.

Yang lebih unik dari masyarakat Baduy pria—baik itu Baduy Tangtu maupun Baduy Panamping—adalah kekhasannya dalam menggunakan atribut busana yaitu senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya serta dilengkapi dengan tas atau dalam istilah masyarakat Baduy disebut dengan tas koja yang dicangklek (disandang) di pundaknya, dan ini biasanya dipakai ketika mereka hendak bepergian. Bagi kaum laki-laki Baduy rasanya belum sempurna berpakaian jika mereka tidak memakai senjata dan tas koja di setiap kali hendak bepergian.

Berbeda dengan busana yang dipaki oleh kalangan pria, dikalangan perempuan Baduy, antara kaum perempuan—baik Baduy Tangtu maupun Baduy Panamping tidak terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai sekitar dada. Busana seperti itu biasanya dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah. Akan tetapi bagi perempuan yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis, buah dadanya harus tertutup dengan rapi.

Berbeda dengan pakai yang biasa dikenakan sehari-hari, kaum wanita Baduy terlihat perbedaan ketika mereka sedang bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, dan dilengkapi dengan kain ikat pinggang dan selendang.

Adanya perbedaan cara dan warna busana antara Baduy Tangtu dan Baduy Panamping di atas adalah indikasi bahwa orang Baduy Tangtu merupakan paroh masyarakat yang masih tetap mempertahankan dengan kuat nilai-nilai   budaya   warisan leluhurnya dan tidak terpengaruh oleh kebudayaan luar. Ini berbeda dengan orang Baduy Panamping yang sudah mulai mengenal kebudayaan luar. Jika dilihat perkembangannya, keberadaan orang Baduy Panamping akhir-akhir ini sudah mulai menunjukan adanya perubahan atau perbedaan—meskipun sebenarnya masih terbilang kecil. Bahkan lebih dari itu, pada lingkungan masyarakat Baduy Panamping seolah-olah sudah mulai memperlihatkan adanya perbedaan berdasarkan status sosial, tingkat umur, maupun fungsinya. Dari faktor itu-lah diduga penyebab munculnya istilah “Baduy Tangtu dan Baduy Panamping”. Meskipun begitu, adanya perubahan cara berbusana yang terjadi pada orang Baduy Panamping terjadai bukan karena faktor sengaja. Perubahan ini terjadi secara alami diakibatkan semakin luasnya jaringan interaksi antara orang Baduy Panamping dengan masyarakat luar.

Untuk memenuhi kebutuhan pakaiannya, masyarakat orang Baduy melakukannya dengan cara menenun sendiri yang biasanya dikerjakan oleh kaum wanita. Bahan dasar busana itu didapatkan dari hasil menanam biji kapas, kemudian dipanen, dipintal, ditenun sampai dicelup menurut motif khasnya.

Penggunaan warna untuk pakaian juga didapatkan dengan cara alami dari alam, dan biasanya racikan warna itu hanya terfokus pada warna hitam, biru tua, putih dan merah sebagai bahan campuran. Kain sarung atau kain yang biasa dipakai oleh kaum wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam dengan garis-garis putih, sedangkan selendang berwana putih, biru, yang dipadukan dengan warna merah. Semua hasil tenunan yang dihasilkan oleh kaum wanita suu Baduy tersebut umumnya tidak dijual tetapi dipakai sendiri. Kegiatan kerajinan bertenun bagi kaum wanita Baduy biasanya dilakukan oleh pada waktu saat setelah panen.

Bagi kaum pria orang Baduy, selain mereka bercocok tanam, mereka pun kerapkali melakukan kegiatan-kegiatan yang menghasilkan sebagai sarana melanjutkan kehidupan. Biasanya kaum pria Orang Baduy membuat kerajinan golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang dicelup.

Keseragaman masyarakat Baduy dalam berpakaian ini dilakukan dengan beberapa alasan; Pertama, merupakan ajaran dari leluhur harus seragam. Kedua, ciri atau identitas khas kelompok. Menurut mereka, jika orang Baduy tidak seragam—berpakaian seperti di atas—nanti tertukar antara orang Baduy dengan orang non Baduy dan intinya jangan sampai menyerupai penampilan orang luar. Ketiga, warna hitam-putih sebagai lambang dari waktu malam dan siang. Artinya manusia itu jangan terlalu banyak pikiran, sebab alam saja hanya ada dua pilihan: malam atau siang; ada senang, ada susah; ada gelap ada terang, dan itu abadi.

Sisi unik lainya yang terlihat unik pada masyarakat Baduy Tangtu maupun Baduy Panamping dalah sama-sama tidak beralas kaki, hal ini dilakukan karena menurut mereka:  Pertama, cara tersebut adalah ketentuan mutlak leluhur yang mewajibkan harus seragam. Kedua, kalau pakai alas kaki, dihawatirkan nanti akan menghilangkan ciri khas Baduy. Ketiga, kondisi geografis. Kondisi geografis daerah Baduy yang terjal dan berbukit-bukit  dapat membuat alas kaki cepat putus, dan akan tetap kotor. Keempat, dengan tidaknya memakai alas kaki, mereka merasakan alam karena menggambarkan keseimbangan dan kelestarian alam.

Dari uraian cara berbusana orang Baduy di atas, bisa dipahami bahwa busana yang dikenakan oleh mereka bukanlah hanya sekedar untuk melindungi tubuh saja, melainkan juga bernilai sakral, di samping juga sebagai identitas budaya yang khas dan semuanya itu merupakan warisan budaya dari karuhun atau nenek moyang yang harus dijaga dan dilestarikan. Dari sini nampaknya nilai filosofis dan pesan moral yang bisa kita ambil teladan sebagai contoh kehidupan positif dari masyarakat Baduy, meskipun mereka  tidak mengeyam pendidikan formal seperti kita.**

** Jika saudara hendak mengutip sebagian atau seluruh isi tulisan dari blog ini, mohon untuk mencantumkan asal rujukannya (baduybantenheritage.blogspot.com). Terimakasih.

** Ritual Upacara Sakral Orang Baduy

Ritual Upacara Sakral Masyarakat Baduy

Oleh: K. Muhamad Hakiki

Ada tiga jenis ritual penting atau upacara yang biasa masyarakat Baduy lakukan setiap tahun. Ritual ini biasanya dilakukan oleh orang Baduy pasca panen usai. Bagi masyarakat Baduy, keberadaan ketiga ritual ini adalah merupakan salah satu kewajiban mutlak yang tidak boleh dilupakan apalagi ditinggalkan. Sebab menurutnya, perayaan ini merupakan peninggalan para leluhur tetua (kokolot) yang harus dilaksanakan secara turun temurun sampai kapan pun. Dilihat dari sejarahnya, ketiga tradisi upacara ini menurut kepercayaan masyarakat Baduy sudah berlangsung selama ratusan tahun yang lampau.

Ngawalu 

Di antara upacara keagamaan masyarakat Baduy yang bernilai sakral adalah Ngawalu. Tradisi upacara ini dikenal sebagai salah satu jenis upacara yang biasa di lakukan dalam rangka memperingati hasil panen atau dalam bahasa mereka “kembalinya” padi dari huma (ladang) ke Leit (lumbung). Upacara ini biasanya dilakukan sebanyak tiga kali dalam setahun, masing-masing sekali dalam tiap-tiap bulan kawalu. Dilihat dari jenisnya, upacara kawalu ini dikenal dalam tiga macam; Kawalu tembeuy (awal) atau kawalu mitembeuy;  Kawalu tengah (pertengahan); dan Kawalu tutug (akhir).

Ngalaksa

Upacara ngalaksa  adalah upacara lanjutan pasca upacara Kawalu atau ngawalu selesai. Bentuk ritual kegiatan upacara ini biasanya di isi dengan kegiatan atau upacara membuat laksa, yakni sejenis makanan adat semacam mie tetapi lebih lebar, atau seperti kuetiaw yang terbuat dari tepung beras. Jenis upacara ini wajib diikuti oleh seluruh masyarakat Baduy. Karena itu, keterlibatan warga sangat dijunjung tinggi pada saat upacara ngalaksa. Keterlibatan seluruh warga Baduy dalam upacara ini karena salah satu kegiatan penting dari acara adat ini adalah dijadikan sebagai tempat perhitungan jumlah jiwa penduduk Baduy atau dalam dunia modern disebut dengan sensus penduduk, termasuk di dalamnya juga dilakukan penghitungan atas jumlah bayi yang baru lahir maupun janin yang masih dalam kandungan. Upacara ini dilakukan dengan tujuan untuk mengontrol laju perkembangan masyarakat Baduy itu sendiri.

Bagi masyarakat Baduy, dua jenis upacara di atas sangat bernilai sakral. Salah satu bukti ke-sakral-an itu terlihat dari ketatnya aturan yang harus dipatuhi. Seluruh warga Baduy tanpa terkecuali harus mengikuti jenis upacara tersebut dan bagi masyarakat di luar Baduy dilarang untuk menyaksikan, apalagi mengikutinya,  termasuk peneliti.

Seba

Setelah proses upacara ngawalu dan ngalaksa selesai dilakukan, maka upacara lanjutan pun segera dipersiapkan, dan bagi masyarakat Baduy, upacara ketiga ini juga tak kalah pentingnya dengan dua jenis upacara di atas yakni sama-sama bernilai sakral. Jenis upacara pamungkas ini biasanya disebut dengan upacara Seba.

Jika dilihat dari sisi semantik, istilah ”seba“ berasal dari kata ”nyaba“. Dalam Kamus Bahasa Sunda, istilah ini berarti ”menyapa yang mengandung pengertian datang dalam rangka mempersembahkan laksa disertai hasil bumi lainnya kepada penguasa nasional“. Substansi ritual seba  ini sebenarnya adalah kegiatan silaturrahmi pemerintahan adat Baduy kepada pemerintah nasional seperti Camat, Bupati sampai Gubernur.

Masyarakat suku Baduy Banten sampai saat ini sangat memegang teguh tradisi leluhur mereka termasuk ketiga ritual yang bernilai sakral ini biasa dilakukan setiap tahun. Salah satu tujuan dari ketiga tritual tersebut adalah sebagai pengungkapan rasa syukur mereka atas segala anugrah yang diberikan Dewata Agung termasuk di dalamnya adalah hasil panen, serta meminta perlindungan pemerintah nasional agar selalu menjaga dan mempertahankan eksistensi daerah mereka agar tetap aman dan damai sampai kapan pun. 

Seluruh nilai-nilai luhur yang tercermin disetiap ajaran dan peribahasa Baduy tidak ada yang tertulis, karena orang Baduy menyakini lebih dulu cerita daripada tulisan. Oleh karenanya, semua ajaran Baduy tercatat dalam memori para tokoh adat dan sebagian warga sampai kini.

** Jika saudara hendak mengutip sebagian atau seluruh isi tulisan dari blog ini, mohon untuk mencantumkan asal rujukannya (baduybantenheritage.blogspot.com). Terimakasih.


** Pemukiman Orang Baduy

Pemukiman Masyarakat Baduy

Oleh: K. Muhamad Hakiki

Mengamati bentuk pemukiman masyarakat Baduy sangat-lah unik. Dalam menata dan membuat rumah pun norma atau aturan adat sangat jelas terlihat. Rumah masyarakat Baduy disusun secara alami. Tidak ada perbedaan antara petinggi masyarakat atau masyarakat biasa, semuanya seragam, tidak hanya dalam pola akan tetapi juga dalam bahan. Rumah masyarakat Baduy semuanya terdiri dari kayu, bambu, kiray “daun rumbia”, ijuk pohon aren, rotan dan batu yang diperoleh dari alam sekitar.

Dilihat dari polanya, semua permukiman masyarakat Baduy—baik antara Baduy Dalam maupun Baduy Leuar—relatif sama yakni berbentuk panggung. Antara permukaan tanah dan lantai (alas) rumah terdapat kolong yang mempunyai ketinggian antara 50-70 cm untuk rumah di panamping dan 70 cm-1,5 meter untuk rumah di tangtu.

Dilihat dari areal luasnya, rumah orang Baduy terbilang kecil. Besarannya sekitar 7X5 meter yang terbagi dalam tiga ruangan yaitu sosoro dan tepas (bagian luar), imah dan musung (bagian tengah), serta parak (bagian dapur). Adapun pembatas antara ruangan semuanya disekat dengan bilik (anyaman dari bambu).

Yang menarik dari pola pemukiman masyarakat Baduy adalah desain arah rumah. Rumah orang Baduy selalu menghadap utara-selatan. Dalam membuat rumah, mereka menggunakan alat sealami mungkin, karena itu jangan harap kita akan melihat alat-alat bangunan yang biasanya kita pakai, seperti; semen, cat, besi, kaca, atau pun paku. Keunikan rumah orang Baduy semakin menarik ketika kita melihat dari areal luar rumah, satu pintu dan satu lubang tempat sirkulasi udara dan penerang ruangan adalah keunikan lain dari rumah orang Baduy. Antara satu rumah dengan rumah lainnya tidak memiliki batas yang jelas (pagar).

Dalam membuat rumah, masyarakat Baduy Dalam, menyesuaikan dengan kondisi tanah. Bagi mereka kondisi tanah yang akan digunakan untuk membuat rumah tak boleh diubah, karena itu konstruksi rumahnya disesuaikan dengan struktur tanah. Hal ini berbeda dengan kondisi di masyarakat baduy Luar. Bagi masyarakat Baduy Luar sudah mulai berani melakukan perubahan struktur tanah agar sesuai dengan pola rumah yang akan dibuat.        

Kepatuhan masyarakat Baduy Dalam memegang aturan adat adalah  karena mereka berprinsip untuk melestarikan alam. Karena itu, segala tindakannya harus dan mengikuti kehendak alam.  Keseragaman bentuk rumah bagi masyarakat Baduy memberikan pesan bahwa tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin, pemangku adat atau bukan, semuanya adalah sama. jadi semuanya sama. Dalam membuat rumah warga, biasanya masyarakat Baduy melakukannya dengan cara gotong royong. Hal ini dilakukan agar antara masyarakat Baduy selalu terjalin kekuatan ikatan bahwa mereka berasal dari yang satu. Dari prinsip ini maka akan menimbulkan rasa persaudaraan yang kuat.

** Jika saudara hendak mengutip sebagian atau seluruh isi tulisan dari blog ini, mohon untuk mencantumkan asal rujukannya (baduybantenheritage.blogspot.com). Terimakasih.